Tahun 2015 adalah tahun pembinaan wajib pajak, meski tidak semua wajib pajak merasa mendapatkan pembinaan dan sosialisasi. Wajib pajak yang belum melakukan pembayaran pajak dengan benar juga diberi pengampunan dengan bebas denda / biaya administrasi dengan diberlakukannya PMK 91, tapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan.
Bagi sebagian besar pengusaha, pemeriksaan pajak merupakan hal yang mengerikan. Seperti yang kita tahu, masih banyak pengusaha yang belum melakukan administrasi keuangan dengan benar dan VALID. Tapi bagi yang sudah mengerti pajak, pemeriksaan tidak lagi menjadi hal yang menakutkan… Kalau bersih, kenapa takut?
Dengan dikeluarkannya PP 46/2013, sebenarnya hal ini dapat memicu wajib pajak, khususnya UKM, yang selama ini belum bisa melakukan kewajibannya dengan benar untuk taat membayar pajak. Dengan hanya menghitung pph final 1% dari omset, dipermudah pula dengan pembayaran yang bisa dilakukan lewat ATM, maka dalam hal ini sesungguhnya WP (wajib pajak) sudah cukup dimanjakan.
Tapi nyatanya, ada ketidakadilan dengan diberlakukan PP tersebut, terutama bagi usaha yang profitnya kurang dari 1%. Dan tragisnya lagi, pph final tidak memperhitungkan untung dan rugi, sehingga tetap saja hal ini memicu WP untuk berlaku tidak jujur.
Dan mulai tahun 2016, Pemilik usaha kecil menengah (UKM) harus siap-siap menghadapi ketegasan petugas pajak. Mulai tahun ini, Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan memperketat aturan pajak UKM. Hal itu untuk mencegah pengusaha mengambil keuntungan dari keberadaan pajak UKM.
Pajak bagi UKM sejatinya telah berlaku sejak pertengahan tahun 2013, yaitu setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Sesuai aturan itu, wajib pajak yang memiliki usaha dengan omzet Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun terkena PPh 1% dari omzet. Awalnya, pajak ini untuk menyasar jutaan pengusaha UKM yang selama ini tak bayar pajak. Aturan ini sudah jalan, tapi tak efektif, sehingga harus direvisi. Sebab, banyak pengusaha UKM yang tetap tak bayar pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemkeu pun tak bisa berbuat apa-apa karena peraturan itu tak mengatur sanksi bagi para pelanggar.
Selain itu, banyak pengusaha kecil memanfaatkan celah ini. Pengusaha yang selama ini sudah bayar PPh dengan tarif reguler sebesar 25 persen dari profit bersih, malah beralih ke pajak UKM yang lebih murah. Ternyata aturan pendukungnya membolehkan perusahaan yang sudah bayar pajak normal ikut skema itu.
Hasil kajian kantor pajak menyatakan peralihan ke pajak UKM berkontribusi dalam kegagalan tercapainya target PPh non minyak dan gas (migas) tahun lalu. Realisasi PPh non-migas hanya 94,7 persen dari target APBN-P 2014 sebesar Rp 460,1 miliar. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan PPh yang ditangani sejumlah Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama).
Selain perubahan aturan, DJP juga akan memperketat pengawasan pelaku usaha yang menjadi wajib pajak sesuai PP 46/2013. DJP akan memasang register cash jika pelaku usaha menggunakan transaksi secara tunai. Register cash adalah sistem transaksi yang terhubung secara online dengan kantor kantor wilayah pajak setempat. Kedua, melakukan pengawasan dari transaksi non-tunai pemilik usaha, yakni dari kartu debit, kredit, dan anjungan tunai mandiri (ATM). Ketiga, melakukan pengawasan terhadap transaksi online untuk mencocokkan nilai pajak yang dibayar pengusaha.
Pakar perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, PP 46/2013 memang butuh revisi. Soalnya, beleid itu menimbulkan distorsi lantaran tak mendefinisikan sasaran calon kena pajak sesuai dengan undang-undang (UU) UKM. Padahal UU UKM menyebut definisi UKM selain berdasarkan omzet, juga dari besarnya aset dan afiliasi. Potensi penerimaan pajak UKM sebenarnya bisa hingga Rp 10 triliun per tahun. Tapi realisasinya kini hanya Rp 2 triliun per tahun.
Pemerintah ada baiknya melakukan benchmarking dengan yang dilakukan Thailand, dimana pemerintah nya memberikan kebebasan pajak kepada UMKM nya sampai 10 tahun serta memberlakukan bunga pembiayaan satu digit. Setelah UMKM tersebut berhasil kemudian diajari cara membayar paja
Senada dengan Ketua Hipmi, Pengamat pajak, Ajib Hamdani menyatakan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 tentang pengenaan pajak penghasilan sebesar satu persen bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang mempunyai peredaran omset tidak melebihi Rp4,8 miliar.
“Pemerintah kurang mengedepankan prinsip keadilan, karena kalau kita mengacu pada prinsip penghasilan sesuai dengan definisi dalam UU PPH adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak,” ujar Bahlil di Jakarta Sabtu (28/3/2015).
Rencana Revisi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan usaha kecil dan menengah (UKM). Revisi ini dilakukan untuk semakin mempertegas dan memperjelas penerapan beleid tersebut yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha nakal.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Sesuai aturan itu, wajib pajak yang memiliki usaha dengan omzet Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan PPh 1 persen dari omzet.
Direktur Jenderal (dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito menuturkan, DJP mengusulkan beberapa poin revisi. Salah satunya, yaitu agar PP ini hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi (WPOP) dan bukan untuk perusahaan.
“Ini baru usulan akan diperbaiki. Hanya untuk orang pribadi. Tidak untuk perusahaan. Ini diperjelas, jadi hanya untuk orang pribadi, itupun new entry (wajib pajak baru). Dan itu hanya untuk (berlaku) tiga tahun,” jelas Sigit di kantor DJP, Jakarta, Kamis (19/3).
PP ini pun menjadi semacam fasilitas bagi pelaku UKM. Dengan penghasilan omzet di bawah Rp 4,8 miliar setahun dengan pembukuan akan sulit sehingga DJP memberi kemudahan melalui pencatatan keuangan saja.
Terkait berlaku hanya tiga tahun, lanjut Sigit, artinya pelaku usaha harus membayar pajak dengan skema reguler yaitu sebesar 25 persen setelah tiga tahun kemudian.
Adapun pengawasannya akan dilakukan dengan data dari instansi terkait, yakni data dari pemerintah daerah (Pemda).
“Kan Pemda yang pungut pajak pembangunan, dari pajak pembangunan tinggal ditelusuri omzetnya. Semua dilakukan mudah. Kita didukung presiden,” tegas Sigit.
Sumber :
1. http://nasional.kontan.co.id/news/banyak-celah-pajak-ukm-akan-diperketat
2. http://ekbis.sindonews.com/read/982550/34/hipmi-dorong-pemerintah-revisi-pp-46-pajak-umkm-1427565081
3. http://www.beritasatu.com/ekonomi/258714-djp-siapkan-tiga-poin-revisi-pp-pajak-ukm.html
4. http://www.pajak.go.id/content/article/tahun-pembinaan-wajib-pajak-djp-lebih-ramah-dalam-memungut-pajak
5. http://www.pajak.go.id/content/article/djp-gencar-imbau-wajib-pajak-manfaatkan-tpwp-2015
6. http://www.pajak.go.id/content/article/begini-cara-djp-cek-kebenaran-laporan-spt
7. http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150925193209-78-81013/pemerintah-akan-turunkan-pph-badan-dari-25-jadi-18/
wajib waspada nih… thanks infonya min
tapi skrng kan sudah ada tax amnesty gann